Kekerasan terhadap Perempuan Masih Tinggi Kampanye 16 HAKTP

Pekanbaru | Jumat, 11 Desember 2020 - 10:16 WIB

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) dilakukan sejumlah organisasi selama rentang waktu 25 November sampai10 Desember. Puncaknya, Kamis (10/12) organisasi yang tergabung dalam Perempuan Sumatra Mampu (Permampu) tersebut mengadakan kegiatan secara virtual dengan memanfaatkan  aplikasi Zoom.

Ikut serta dalam kegiatan itu Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Sumatera, Forum Komunitas Akar Rumput (FKPAR), dan juga dari Mahkamah Agung. Hadir juga anggota Permampu lainnya yang tergabung di seluruh provinsi yang ada di Pulau Sumatera.


Pengurus Permampu Helfi Rahmawati yang membuka acara menyebut, 16 HAKTP merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

"Kekerasan terhadap perempuan dianggap masih tinggi khususnya perkawinan di bawah umur. Untuk itu bersama komunitas dampingan dan para pihak mengadvokasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan perkawinan anak melalui pemenuhan hak asasi perempuan khususnya hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan," ungkapnya.

Menurut Direktur PPSW Sumatera Endang Sulfiani, perempuan di Sumatera masih mengalami persoalan yang berhubungan dengan pelanggaran hak-haknya. Menurutnya, negara belum secara serius melaksanakan isi UU RI Nomor 7 tahun 1964 mengenai Penghapusan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

"Data dari Komnas HAM tercatat Januari sampai Mei 2020 penerimaan pengaduan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 232 kasus yang setara dengan 63 persen pengaduan di tahun 2019," katanya.

Kekerasan berbasis gender online 2018 sampai 2020 menunjukan kelonjakan kasus. Katanya, dari 65 kasus menjadi 97 kasus. Bahkan, yang terbaru 281 kasus.

Kemudian, menurut Ana Pratiwi Damar Lampung, perrkawinan anak masih menjadi peningkatan. "Masih dijadikan solusi dari kesulitan ekonomi. Namun juga meningkatnya perceraian," ujarnya.

Catatan diskusi bersama pengadilan tinggi agama bahwa pandangan agama masih menjadi hal utama. Pemutusan dispensasi kawin juga menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan perkara. 

Perwakilan dari Mahkamah Agung Dr Mardi Candra SAg MAg MH mengatakan, permasalahan dispensasi dari Permampu dan komunitas lain yakni berjuang sejak lama menurunkan perkara anak. Menurutnya, ekspektasi yang dilihat tidak sesuai. 

Berdasar data yang dipapar melalui slide secara kasat mata perkawinan anak melonjak drastis secara tajam. "Perkawinan anak di indonesia Nomor 3 di Asia nomor 7 di dunia," ulasnya.

Dirincikannya perkara dispensasi kawin sebelum dan sesudah perubahan batas usia kawin di masa pendemi. Pada 2017, ada 13.095 perkara. Lalu, pada 2018 ada 13.815 perkara. Selanjutnya, pada 2019 ada 24.864 perkara dan pada 2020 sebanyak 54.469 perkara.(sof) 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook